TRAUMA
Disekanya wajahnya berulang kali. Satu, dua, tiga, sampai sepuluh kali. Tak jua merasa bersih. Busa sabun pencuci wajah tidak lagi tersisa. Air pun sudah bersih dari wajahnya. Tapi, ia tetap merasa kotor, seolah wajahnya belum lagi dicuci.
Luka itu masih tersisa.
Bukan hanya di wajahnya yang lebam biru hasil kekerasan orang yang dia kasihi, tetapi juga di hatinya. Hati yang dulu begitu putih, seputih salju. Kini merah, berdarah. Terpukul dirinya. Begitu parah.
Bukan hanya di wajahnya yang lebam biru hasil kekerasan orang yang dia kasihi, tetapi juga di hatinya. Hati yang dulu begitu putih, seputih salju. Kini merah, berdarah. Terpukul dirinya. Begitu parah.
Perlahan dipandanginya wajahnya lewat cermin wastafel tempat ia menyeka wajahnya dan menggosok giginya. Senyum itu tak lagi manis. Sudut-sudut bibir yang naik, membuat dirinya terlihat sedikit sinis. Kalau tidak bisa dikatakan sadis. Senyum yang menyakitkan. Karena dia tahu, senyum itu adalah senyum dengan keterpaksaan. Setelah selama ini yang dia lakukan hanya menangis.
Beban hidup itu terlalu berat baginya. Berkali-kali dia disakiti oleh orang yang dia cintai. Dia inginkan pulih. Dia inginkan hidupnya kembali berseri. Namun, ternyata itu semua begitu sulitnya.